Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Teman yang Baik

Sebagai manusia, saya mengalami fase jatuh bangun dalam hidup seperti manusia lainnya. Ketika jatuh dan untuk bangun kembali, saya mendapat kekuatan dari Tuhan, orangtua, hingga teman-teman, tak berbeda juga dari manusia kebanyakan. Tanpa memilih-milih, saya ingat pada seorang teman yang baik. Teman yang menunjukkan sebuah jalan di mana terletak kebaikan-kebaikan di sana. Teman yang saya ceritakan ini adalah teman baik yang memiliki hati baik.

Sekitar lima tahun silam ketika semua orang menjauh, dia tidak pergi. Saya menduga dua hal: dia mengasihani saya atau dia memang baik. Terlepas dari prasangka-prasangka, saya cukup terharu melihat dia berusaha mendekatkan orang-orang yang begitu jauh. Dia tidak pindah dari sisi saya ketika semua orang bergegas. Dia teman yang baik lalu kemudian menjadi teman baik. Dia memberi tahu banyak hal tanpa mengajari. Membuat saya malu karena tidak salat tanpa mencemooh. Lima waktunya terpenuhi dan tertepati. Pantas saja dia baik, karena dia berteman baik dengan Tuhan.

Dia tidak pernah membeda-bedakan manusia, tak melihat dari sisi luar saja melainkan sisi tersembunyi yang tak terjamah. Sesekali dia mengatakan mbak-mbak SPG cantik.  Tetapi, yang menutup aurat tetap paling cantik baginya. Dia membuat saya merasa tidak cantik dan membuat saya ingin menjadi cantik. Sebagai temannya, saya ingin terkesan cantik.

Dia mungkin bukan orang dengan tingkat kesabaran tinggi, tetapi dia jarang marah. Dia nyaris tidak pernah memasang wajah menakutkan, jarang meninggikan nada suaranya dan jarang menyelipkan kalimat tak sopan pada kalimat-kalimatnya. Cukup banyak saya garuk-garuk kepala karena dia tidak marah jika saya sedang marah-marah. Dia tak memberikan umpan balik ketika menghadapi orang marah. Kemudian saya berusaha mati-matian menghilangkan kebiasaan marah-marah.

Dia memberitahu saya untuk berbagi senyum kepada orang lain melalui senyumnya yang dibagikan pada orang-orang yang kami lalui. Dia membagi senyum pada orang-orang yang tak dikenal sementara saya sibuk memasang wajah dengan ekspresi “Siapa dia? Perlukah saya tersenyum?”. Dia seharusnya bangga, karena sekarang saya senang berbagi senyum sebagai sopan santun.

Karena dia teman yang baik, kebaikannya cukup melimpah. Maka saya hanya menyebutkan beberapa. Tetapi dia teman baik yang membuat hidup saya lebih baik. Sayangnya, teman datang silih berganti. Saya dan dia tak lagi sering bertatap muka yang bahkan hampir tidak pernah, pun tidak ada komunikasi di antara kami meski hanya bertukar kabar ataupun mengucapkan “halo”. Meski tidak dalam satu radar lagi, saya tahu dia tidak pergi. Dia tetap jadi teman baik saya sampai kapanpun. Dia meninggalkan kesan baik walau mungkin saja dia berubah bersama dengan waktu yang menua. Selama ini saya tidak pernah menyebutkan dirinya sebagai teman yang baik. Saya terlalu sibuk memanggilnya laki-laki baik hati.

Kepada teman yang baik, akhirnya saya sampai pada masa menemukan sejatimu.
Kamu adalah teman baik saya.

Comments