Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Memaafkan Cinta

Cerpen lanjutan setelah Rumah Di Hati Dipta, baca di sini



Musim hujan ingkar janji tahun ini, datang terlambat tanpa peduli pada semesta yang merindu. Hujan hanya menyisakan satu dua hari untuk manusia bertemu matahari, menyatu dengan alam. Suasana di Taman Sari cukup terik, manusia berbondong-bondong keluar dari selimut setelah ramalan cuaca dengan sok tahu menyatakan hujan tidak akan turun satu hari penuh.

Seorang perempuan memakai baju berwarna kuning berjalan di keramaian. Tak henti-henti menunduk untuk melihat alat komunikasi yang digenggam tangannya. Memandang sekeliling mencari-cari sesuatu atau seseorang. Dari raut wajah yang ditampilkan, dia terlihat gelisah.

“Aini..”

Sesosok pria memegang pundak kanan perempuan itu dari belakang, mengagetkannya yang mungkin nyaris bosan menunggu. Tetapi garis-garis wajah perempuan itu terlihat lega, terlebih senyum mengembang yang ditampilkannya.

“Maaf membuat kamu menunggu..”

“Nggak apa-apa. Aku selalu rela dengan bodohnya menunggu kamu.”

Dipta tertawa, wajahnya jelas tersipu oleh kalimat yang entah  bermakna apa. Gitar yang sedari tadi dipegang diletakkan di sebelah kirinya. Meski sudah mencari tempat yang cukup teduh, keringat tetap menetes di wajahnya. Semesta mungkin sedang mencurigai Dipta salah tingkah di sisi perempuan yang tak henti-hentinya tersenyum.

“Udah lama banget ya nggak ketemu?” Kalimat yang dilontarkan si pria membawanya menaiki mesin waktu menuju masa lalu.

***
225 hari yang lalu....

“Selamat pagi, tuan putri..”

Dipta sampai di depan rumah aini mengenakan jaket  tim sepak bola favoritnya. Hari ini Dia berjanji untuk menjemput Aini. Rencananya, mereka akan pergi bersama untuk merayakan bulan ke enam mereka. Bedanya, Dipta datang tidak dengan motor bebek hitam kesayangannya. Terparkir sebuah becak lengkap dengan pernak-pernik bernuansa pink.

“Dipta ini asli norak..”

Aini hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kekasihnya. Dipta mengulurkan tangan yang tanpa ragu disambut Aini, mengiringnya menaiki becak. Tukang becak yang dipaksa Dipta memakai baju pink mengayuh becaknya sesuai rencana.

Bagi orang yang sedang jatuh cinta, dunia tidak berpenghuni. Meski kota Jogja padat merayap dengan kendaraan bermotor, Dipta dan Aini tidak peduli. Mereka larut dalam atmosfer cinta. Dipta tak henti-hentinya mengeluarkan kalimat-kalimat gombal yang membuat Aini merona.

Suara ponsel Aini berbunyi, mengacaukan kalimat romantis yang baru saja akan disampaikan Dipta. Wajah Aini berubah tegang, membuat Dipta memicingkan mata pada perempuan yang sudah dikenalnya berbulan-bulan.

“Telepon dari siapa?”

“Emm, ini..”

Tanpa Aini menyelesaikan jawaban, Dipta mengambil paksa ponselnya. Menemukan nama Adi di sana, lalu bergegas melihat banyak hal. Tidak sedikit pesan masuk dari Adi dan tersirat kedekatan mereka, membuat hatinya terbakar panasnya api cemburu.

“Sejak kapan kamu smsan sama Adi?”

“Nggak, kita smsan karena ada yang harus dibahas.”

“Apa? Hati? Ini bukan smsan yang biasa Aini, kamu tau itu. Ini terlalu mesra untuk ukuran seorang ‘teman’ ”

“Nggak, sayang..”

Dipta mengembalikan ponsel Aini lalu menyuruh tukang becak untuk berhenti di pinggir jalan. Keluar dengan terburu-buru dengan dada yang bergemuruh. Aini berlari mengejar kekasihnya, mengenggam tangannya erat-erat.

“Jangan pergi, Dip..”

Air mata Aini menetes perlahan. Dipeluknya Dipta tanpa peduli tatapan orang-orang. Aini tidak bisa menyangkal bahwa dia tidak bersalah. Kenyataannya, Adi teman dekatnya sejak dulu yang sempat mengaku menyukainya. Namun karena kesibukan masing-masing, komunikasi berjalan tidak lancar. Suatu hari, Adi menghubunginya. Aini yang sebenarnya sempat memiliki rasa yang belum tersampaikan, senang dengan kehadiran Adi kembali.

“Aku tau kalau kamu sama Adi pernah deket, wajar kalau aku curiga.” Dipta berusaha menenangkan amarahnya yang memuncak.

“Tapi yang aku cinta sekarang kamu, Dip.. Adi hanya masa lalu..”

Aini tau, cinta datang bukan hanya sekadar karena pandangan pertama. Cinta datang karena terbiasa  bersama, terbiasa saling tatap tanpa sekat. Dan Dipta membuktikannya.

Pada akhirnya hati yang terluka hanya memerlukan waktu untuk sembuh. Dipta pergi, berkata hanya sementara tetapi tidak pernah berjanji untuk kembali. Aini menangis dua minggu berturut-turut, satu minggu untuk kesalahannya, satu minggu untuk kehilangannya.

Seen you fall, seen you crawl, on your knees..
Seen you lost in a crowd, seen your colors fade..
Wish I could make it better..
Someday you won't remember..
This pain you thought would last forever and ever..”
(Taylor Swift – Sweeter Than Fiction)

***

Aini tau dia benar-benar merindukan Dipta tak usai-usai. Sejak hari itu, baik dia dan Dipta mengundurkan diri dari radio tempat mereka saling menemukan dan jatuh cinta. Awalnya Dipta yang mengasingkan diri, lalu Aini pun tak pernah datang lagi. Tindakan yang tidak profesional, tetapi hati memerlukan ruang untuk merasa lega.

Setelah perpisahan yang tidak menyenangkan, akhirnya hari ini Aini dan Dipta sepakat bertemu lagi dan menemukan kesempatan kedua. Aini tidak akan membiarkan Dipta pergi lagi kali ini, dan Dipta bertekad tidak akan meninggalkan Aini lagi saat ini.

“Kamu masih ingat lagu ini?”
Dipta mengambil gitarnya lalu mulai memainkan musik.

“Memandangmu, walau selalu..
Tak akan pernah beri jemu di hatiku..”

Aini mengeluarkan tawa dan air mata bersamaan. Bernyanyi perlahan melebur dengan suara Dipta.

“Memandangmu, walau selalu..
Masih terasa manis, bagai di awal jumpa..
Mencari, apa yang aku cari..
Merangkai rindunya hatiku..

Bulan bawa bintang menari, iringi langkahku..
Cinta hadir bawa dirimu berjumpa denganku..
Dua hati satu tujuan, melangkah bersama..”

Aini dan Dipta lantas terkenang mimpi-mimpi yang mereka rangkai bersama, terinspirasi dari lirik yang berbunyi “Dua hati satu tujuan, melangkah bersama”. Mereka pernah berjanji untuk saling menggenggam lalu melangkah berdua untuk menggapai impian mereka. Janji yang kemudian membawa mereka kembali, mengaitkan kelingking dan tidak akan saling melepaskan.

“Aini, aku sudah pergi sejauh ini hanya untuk menyembuhkan luka. Aku sudah pergi ke seluruh penjuru dunia untuk mencari obat. Tetapi aku tidak pernah menemukan, aku tidak pernah sembuh. Karena obatnya adalah kamu. Dengan memaafkan kamu dan bersama kamu lagi, hatiku akan menyembuhkan lukanya sendiri. Aku mencintaimu, tanpa peduli seberapa banyak kamu meluluh lantahkan hatiku.”

Aini memeluk Dipta dengan erat, pelukan hangat setelah perpisahan terakhir.

“Jangan pergi lagi. Sudah cukup kamu menghilang delapan bulan ini..”

Dipta melepas pelukan Aini, menggenggam tangannya erat dan membiarkan mata yang berbicara. Karena dalam keheningan sekalipun, cinta tetap punya jalannya untuk menyampaikan yang tidak terjamah. Karena pada ribuan kesalahan, cinta selalu punya jalannya untuk memaafkan.

Comments